Mendengar nama Ratu Atut di televisi,seorang anak
Sekolah Dasar bertanya,”Apakah Ratu Atut memimpin Kesultanan Banten…?” ;
Cukup geli juga mendengar pertanyaan anak SD tersebut,mungkin saja
dirinya sedang belajar sejarah Indonesia yang memang di era penjajahan
dulu beberapa wilayah Indonesia dipimpin oleh raja atau ratu yang
memimpin kerajaan/kesultanan. Dengan nama “Ratu” didepan namanya,seorang
Atut yang memimpin propinsi Banten memang benar seperti ratu pada
umumnya pada era penjajahan dahulu.
Bayangkan saja,dengan kekayaan
yang dimiliki secara pribadi dan keluarga berikut saudara-2nya yang
spektakuler di Banten berupa aset-aset properti yang tercecer sedemikian
rupa,kemudian juga aset-aset properti mahal yang terlihat dimiliki di
Bandung,Jakarta dan mungkin juga di luar negeri ; Bukan sekedar aset
properti saja,tetapi jabatan-2 yang melekat di sanak famili Ratu Atut di
berbagai daerah Kabupaten/Kotamadya di Propinsi Banten,baik di
legislatif maupun di eksekutif,dari yang muda belia sampai yang tua dan
sakit-sakitan ; Layaklah Ratu Atut disebut “ratu” di Kerajaan
Banten,eh…salah Propinsi Banten.
Nama Ratu Atut baru menjadi buah
bibir di masyarakat Indonesia,bukan karena keelokan wajahnya bak “Ratu
se Jagad” yang kalau diperlombakan pasti didemo oleh FPI ; Tetapi nama
Ratu Atut melejit karena diduga terlibat kasus-kasus kejahatan suap ke
Ketua MK yang melibatkan adik kandungnya dengan panggilan “Wawan” atau
Tubagus Chaeri Wardana. Adik Ratu Atut ini beberapa waktu yang lalu
dicokok oleh KPK untuk menjadi tersangka kasus penyuapan ke Ketua
MK,Akil Mochtar ; Mungkin saja kasusnya bukan sekedar penyuapan,tetapi
akan merembet ke kasus-kasus lain yang sekarang sedang ramai dibuka oleh
beberapa LSM anti Korupsi yang sudah lama menyoroti kehidupan pribadi
Ratu Atut dan keluarganya.
Ratu Atut juga bagai “ratu” yang
memerintah sebuah kerajaan tempo dulu di Indonesia,dimana raja/ratunya
hidup bergelimpang harta,tetapi rakyatnya tetap saja menjadi rakyat
jelata dengan kehidupan yang miskin dan infrastruktur yang amburadul.
Membaca gurita bisnis dan sepak terjang keluarga Ratu Atut di sebuah
majalah online,memberikan gambaran betapa kebodohan rakyat Banten
dimanfaatkan oleh keluarga ini. Rasa takut terhadap ayahanda Ratu Atut
yang dikatakan sebagai seorang jawara di Banten menjadikan keluarga ini
masuk ke dunia politik praktis dan menguasai sektor legislatif dan
eksekutif serta menguasai kehidupan politik rakyat Banten. Padahal Allah
SWT sudah “memberitahu” bahwa diriNya lebih berkuasa dari ayahanda Ratu
Atut,yaitu dengan mengambil nyawa ayahanda Ratu Atut,Chasan Sochib,maka
itu membuktikan bahwa sang jawara pun bisa mati,jadi apa yang perlu
ditakuti oleh masyarakat Banten terhadap keluarga ini…?
Masyarakat
miskin dan bodoh memang gampang sekali “ketakutan” dengan cerita-2
kesaktian seorang jawara,yang katanya dibacok atau ditembak pistol tidak
bisa mati. Ilmu kanuragan atau ilmu silatnya sangat tangguh,tak ada
lawan,dsb….Cara berpikir seperti inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh
keturunan Chasan Sochib untuk meraih kekuasaan politis di daerahnya.
Ilmu-2 klenik dan santet menjadi kekuatan mereka untuk menakuti
masyarakat yang masih bodoh dan kurang imannya. Isu santet pun juga
mewarnai ketika adik Ratu Atut ditangkap KPK ; Untung saja Ketua KPK
Abraham Samad berani menantang dengan menyatakan “Tidak Takut”
disantet,jadi mudah-mudahan kasus korupsi yang melibatkan Ratu Atut dan
keluarganya idak berhenti karena semua anggota KPK takut kena santet…!
Cerita
kesaktian,magis,kekuasaan absolut memang ciri khas para raja/ratu yang
memerintah kerajaan/kesultanan di bumi Nusantara ini. Akibat budaya
“kebodohan” seperti itulah,maka masyarakat Indonesia masih saja percaya
dengan figur-figur yang mempunyai darah keturunan orang-orang yang
dianggap “sakti” dan mumpuni. Mereka masuk ke kekuasaan dengan melalui
jalur partai politik di era demokrasi “liberal” ini tanpa disaring oleh
parpol yang menjadi kuda tunggang mereka. Parpol juga berkepentingan
untuk meraih kursi sebanyak-banyaknya melalui figur-figur orang “top”
ini,tanpa membaca sejarah dan kelangsungan hidup parpol selanjutnya.
Mungkin saja bagi parpol yang menjadi kuda tunggang mereka
disederhanakan cara berpikirnya,yaitu bila sudah tercemar nanti dicopot
alias dipecat saja….! Beres,bukan…? Tetapi effek terrhadap kerugian
negara,kebodohan politik rakyat tidak lagi dipikirkan,yang terpenting
meraih kekuasaan…!
Ratu Atut memang bukan “Ratu” Banten,bisa jadi
akhir dari kehidupan politiknya berakhir di balik jeruji dengan kasus-2
korupsi yang menantinya,persis sama dengan pendahulunya yaitu Mantan
Gubernur Banten Djoko Munandar yang digantikannya karena terkena kasus
korupsi. Tetapi itu mungkin juga mimpinya para aktivis LSM anti
Korupsi,sebab siapa tahu Ratu Atut memang “ratu” Banten,sebab dengan
begitu banyak kolega,saudara dan para pejabat tinggi negeri ini yang
sudah “mencicipi” manisnya “setoran”,sang “ratu” benar-benar dapat lolos
dari kasus korupsi…? Sekali lagi,harus diingat bahwa kekuasaan Ratu
Atut Chosiyah memang luar biasa…..!
Kekuasaan inilah yang menjadi
pintu gerbang para pejabat atau penyelenggara negara korup untuk meraih
kekayaan tanpa peduli terhadap rakyat dan bangsa serta negara Indonesia.
Kekuasaan tidak lagi dipakai untuk mensejahterakan rakyat dan
masyarakat Indonesia,tetapi dipakai untuk kepentingan pribadi dan
golongan/kelompoknya sendiri. Pribadi yang demikian bukan saja
menghinggapi para penyelenggara negara,tetapi di sektor swasta tidak
sedikit seorang pemimpin perusahaan melakukan hal yang sama dengan para
pejabat korup dan haus kekuasaan tersebut. Sikap totaliter dan diktator
serta berlaku sewenang-wenang sedang menjadi penyakit kepemimpinan di
Indonesia. Tak cuman Ratu Atut,tetapi hampir semua pemimpin bangsa
ini,baik di sektor pemerintahan maupun swasta perlu belajar apa itu
“Kepemimpinan” ….!
Kekuasaan bukan kepemimpinan,untuk meraih
kepemimpinan tidak diperlukan kekuasaan,sebab kekuasaan justru akan
menghancurkan nilai kepemimpinan,yaitu kejujuran dan belas kasih
0 comments
Post a Comment